> captain of Black Pearl: April 2011

Sunday, April 3, 2011

sejarah perang Aceh - Belanda

    26 maret 138 tahun lalu adalah sesuatu yang sangat berpengaruh bagi rakyat aceh.. yaitu maklumat perang Belanda dengan kerajaan Aceh,, 

Rabu, 26 Maret 1873, di atas kapal Citadel van Antwerpen, Kerjaan Belanda menyatakan maklumat perang dengan Kerajaan Aceh. Pernyataan Nieuwenhuijzen inilah yang menyebabkan kehidupan rakyat Aceh menjadi tidak menentu hingga hari ini. Perlawanan dan pengkhianatan bercampur baru di sana. Belanda haru mendapat taktik khusus penaklukan Aceh, bahkan orientalis terkenal Prof DR Snouck Hurgronje dikirim ke Mekkah mempelajari watak dan karakter kaum muslimin Aceh. Teori Snouck ini tidak hanya dipakai di Indonesia

Surat pernyataan perang oleh Belanda itu ditulis pada 26 Maret 1873, dan disampaikan kepada Sultan Aceh pada 1 April 1873. Pernyataan perang itu antara lain berbunyi. “Dengan ini, atas dasar wewenang dan kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh Pemerintah Hindia Belanda, ia atas nama Pemerintah, menyatakan perang kepada Sulthan Aceh..”

Pernyataan perang pihak Belanda itu dijawab dengan tegas oleh Sulthan Alaiddin Mahmud Syah pada hari itu juga. “…kita hanya seorang miskin dan muda, dan kita sebagai juga Gubernemen Hindia Belanda, berada di bawah perlindungan Tuhan yang maha kuasa…,”

Penolakan secara halus itu membuat Belanda berang dan berencana untuk melancarkan serangan ke Aceh setelah membacakan maklumat perang terhadap Aceh. Maklumat itu dibacakan setelah beberapa kali surat menyurat yang tegang antara sultan Aceh dengan Komisaris Pemerintah Belanda, Niewenhuijzen yang berlindung di atas kapal perang Citadel van Antwerpen.

Menurut Ali Hasjmy dalam “Peranan Islam dalam Perang Aceh” isi surat penolakan itu terkesan lembut, tapi pada hakikatnya adalah suatu pernyataan keteguhan hati dan iman seorang muslim sejati yang hanya mengakui kekuasaan dan perlindungan Tuhan.

Untuk menghadapi ancaman Belanda itu, maka Sultan Alaiddin Mahmud Syah menggelar musyawarah kerajaan pada 10 Zulkaidah 1288 Hijriah (1872 Masehi) di dalam Mesjid Baiturrahim Daruddunia. Dalam musyawarah itu hadir para ulama besar, menteri dan uleebalang seluruh Aceh.

Kala itu Sultan Aceh menjelaskan tentang bahaya yang sedang mengancam Aceh, yakni datangnya imperialis Belanda yang akan memerangi Aceh. Terhadap ancaman itu, muasyawarah melahirkan kesepakatan dan keputusan akan melakukan perang total kalau Belanda menyerang Aceh.

Sebagai tanda kesepakatan tekad itu, maka para peserta musyawarah mengucapkan sumpah. Pengambilan sumpah dipimpin oleh Kadli Mu’adhdham Mufti Besar Aceh, Syekh Marhaban bin Haji Muhammad Saleh Lambhuk dengan disaksikan oleh para alim ulama Aceh. Sumpah tersebut berbunyi:

“Demi Allah, kami sekalian hulubalang khadam Negeri Aceh, dan sekalian kami yang ada jabatan masing-masing kadar mertabat, besar kecil, timur barat, tunong baroh, sekalian kami ini semuanya, kami thaat setia kepada Allah dan Rasul, dan kami semua ini thaat setia kepada Agama Islam, mengikuti Syariat Nabi Muhammad Saw, dan kami semua ini thaat setia kepada raja kami dengan mengikuti perintahnya atas yang hak, dan kami semuanya cinta pada Negeri Aceh, mempertahankan dari pada serangan musuh, kecuali ada masyakkah, dan kami semua ini cinta kasih pada sekalian rakyat dengan memegang amanah harta orang yang telah dipercayakan oleh empunya milik. Maka jika semua kami yang telah bersumpah ini berkhianat dengan mengubah janji seperti yang telah kami ikral dalam sumpah kami semua ini, demi Allah kami semua dapat kutuk Allah dan Rasul, mulai dari kami semua sampai pada anak cucu kami dan cicit kami turun temurun, dapat cerai berai berkelahi, bantah dakwa-dakwi dan dicari oleh senjata mana-mana berupa apa-apa sekalipun. Wassalam.”

Sumpah ini kemudian dimasukkan dalam sarakata Baiat Kerajaan, bertulis tangan dengan huruf Arab. Naskahnya ditemukan kembali dalam dokumen peninggalan Wazir Rama Setia Kerajaan Aceh Said Abdullah Di Meulek. Naskah asli kini disimpan Said Zainal Abidin salah seorang keturunan Di Meulek, sementara foto kopinya ada di Pustaka Ali Hasjmy di Banda Aceh.
Belanda Menyerang Aceh

Kedatangan tentara Belanda di perairan Aceh pada saat itu, menyebabkan Sultan Alaidin Mahmudsyah (1870-1873) memanggil pembesar pembesar istana untuk bermusyawarah dan diputuskan bahwa Aceh tidak akan tunduk kepada ancaman Komisari Pemerintah Hindia Belanda Nieuwenhuijzen dan setiap serangan akan dibalas dengan serangan pula.

Tidak ada putusan kita yang lain, demikian titah Sultan Alaidin Mahmudsyah, kecuali menghadapi ancaman Belanda dengan semangat jihad, dan segenap lapisan rakyat diserukan ikut serta dalam perjuangan mempertahankan kehormatan dan kedaulatan dari setiap serangan. Udep merde’ka, mate syahid; langet sihet awan
peutimang, bumoé’reunggang ujeuen peurata, salah narit peudeueng peuteupat, salah seunambat teupuro dumna.

Tak tanggung-tanggung, dalam penyerangan pertama ke Aceh itu, Belanda mengerahkan enam kapal perang, yakni Djambi, Citaden van Antwerpen, Marnix, Coehoorm, Soerabaya, dan kapal perang Sumatera. Ditambah Siak dan Bronbeek, dua kapal angkatan laut Pemerintah Belanda. Belanda dengan kekuatan penuh telah berada di pantai pantai Aceh yang dipimpin oleh Jenderal Mayor J.H.R. Köhler, dibantu Kolonel C.E. van Daalen dan Kolonel A.W. Egter van Wisserkerke selaku Kepala Staf. Kekuatan ekspedisi ini terdiri dari batalyon kesatu Barisan Madura, satu detasemen cavaleri, barisan meriam, barisan Genie lengkap, staf tatausaha dan dinas kesehatan lengkap. Jumlah kekuatan angkatan darat seluruhnya terdiri dari 168 opsir, 3198 serdadu (1.098 Belanda dan 2.100 orang Indonesia asli) 31 ekor kuda perang untuk opsir, 149 ekor kuda untuk serdadu, 100.026 orang hukuman, 220 janda, 8 bersuami dan 300 buruh.

Armada Belanda tersebut dipimpin oleh Kapten laut J.F Koopman dengan kekuatan 168 orang perwira yang terdiri dari 140 orang Eropa, serta 28 orang Bumiputere, 3.198 pasukan yang 1098 diantaranya orang-orang Eropa, sisanya 2.100 orang tentara dari Bumi Putera, yakni tentara bayaran Belanda dari Jawa.
Begitu mendarat, pasukan Belanda langsung digempur oleh pasukan Aceh, terjadilah perang sengit. Setelah bertempur dengan susah payah, pada 10 April 1873, Belanda dapat merebut Mesjid Raya. Akan tetapi karena tekanan-tekanan dari pejuang Aceh yang dipimpin Tgk Imuem Lueng Bata, Belanda pun harus meninggalkan Mesjid Raya.

Penyerangan Belanda pada tanggal 26 Maret 1873 dihadapi dengan kekuatan penuh oleh rakyat Aceh. Dari seluruh pelosok Aceh menyahuti seruan Sultan Alaidin, akibanya 18 hari setelah proklamasi perang Belanda di Aceh, Belanda harus membayar mahal, banyak tentaranya yang mati bahkan pimpinan pasukannya Jenderal Mayor J.H.R. Köhler ditembak oleh tentara kerajaan Aceh Darussalam, di halaman Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, pada tanggal 14 April 1873. Dan berucap “O God, Ik ben getroffen” (ya Tuhan, Aku kena).

Itulah ucapan terakhir yang keluar dari mulut Jenderal Kohler ketika sebutir peluru menembus dadanya. Sang Jenderal itu pun terkapar dan tewas di depan Masjid Raya Baiturrahman. Akhirnya ekspedisi pertama ini gagal dan tentara Belanda ditarik pada tanggal 17 April 1873. Setelah Nieuwenhuijzen meminta persetujuan. Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Jakarta.

Belanda tidak mengira akan mendapatkan perlawanan setangguh ini di Aceh, satu-satunya wilayah di Netherland Hindi (Indonesia) yang belum tunduk pada Belanda, Aceh telah membuat Belanda gregetan. Armada Aceh dianggap sering mengganggu kapal Belanda yang mengangkut rempah-rempah di Selat Melaka.

Sementara itu, Belanda tak dapat membalas karena terikat Traktat London 1824 antara Ingris dan Belanda yang salah satu pasalnya tetap menghormati kedaulatan Aceh. Tak heran kalau Belanda giat berupaya mencari celah untuk mengadakan perjanjian baru dengan Inggris, dan itu terpenuhi dengan Traktak Sumatera 1871 antara Inggris dan Belanda, setelah Belanda menyerahkan Gold Coast (Pantai Gading) di Afrika kepada Inggris dengan konpensasi.

Wartawan Belanda Paul van’t Veer menulis bahwa perang Belanda di Aceh yang bermula pada tanggal 26 Maret 1873 berakhir pada tahun 1942. Ia membaginya dalam 4 babak pertama, perang 1873. Kedua, Perang yang terjadi, 1874-1880. Ketiga, perang 1884-1896. Keempat perang dari tahun 1898-1942. Dijelaskannya, bahwa Belanda hampir 69 tahun tak henti-hentinya berperang di Aceh. Aceh adalah negara yang paling akhir dimasukkan ke dalam pemerintahan Hindia Belanda (Indonesia), dan yang mula-mula sekali pula keluar daripadanya pada tahun 1942. Banyak pahlawan-pahlawan Aceh Kerajaan Islam Aceh Darussalam syahid kena peluru atau kelewang Marsose Belanda begitu terdapat pula dari tokoh tokoh Aceh yang berkhianat pada negerinya dan memihak Belanda. Dalam sejarah juga tercatat munculnya kaum wanita yang berdiri di depan melawan penjajahan negerinya.

Karena Belanda mengalami kegagalan dalam penyerbuannya ke Aceh, tak lama kemudian Jenderal G.P Booms dalam bukunya “De Erste Atjeh Expediti en Hare Enguete” mengecam Pemerintah Kolonial Belanda di Batavia atas kegagalan tersebut, karena dinilai terlalu menganggap remeh kekuatan Aceh.
Zentgraaff menilai, wanita Aceh dalam setiap perang menolak setiap perdamaian dan lebih berwatak keras dengan berprinsip membunuh atau dibunuh. Pujian Zentgraaff terhadap wanita Aceh muncul setelah ia menemuai Pocut Di Biheue, seorang wanita pemberani yang menyerang patroli Belanda seorang diri. Kemudian ada lagi kisah keuletan Pocut Baren, yang kakinya harus diamputasi.

Ada lagi kisah istri Teungku Mayed Di Tiro, putra Tgk Chik Di Tiro. Dalam pertempuaran pada tahun 1910, meski sudah dikepung pasukan Belanda, Tgk Mayed Di Tiro bisa meloloskan diri atas bantuan istrinya. Sementara istrinya tertangkap dengan luka para di tubuhnya, sewaktu komandan pasukan Belanda hendak memberikan pertolongan, ia menolaknya. “Bek ta mat kei kaphe budok (jangan sentuh aku kafir celaka),” hardiknya dengan suara lantang. Ia lebih memilih syahid dari pada mendapat pertolongan dari kafir.
Hal yang sama juga diakui oleh Panglima Perang Belanda di Aceh, Jenderal Van Pel. Dalam buku ES Klerek: History of Netherland Eas Indie ia mengakui jatuhnya mental tentara Belanda akibat perlawanan sengit dari rakyat Aceh. Ia menulis:

“The proclamation of direct rule over Acheh pi proper had been a mistaken idea; there could be not question of conquest for the time being, the standing army in Acheh beingdepleted by the heavy losses suffered and the consequent large drainage of force.” (Proklamasi tentang langsung dijajah/diperintah Aceh, sesungguhnya adalah cita-cita yang amat salah. Sebenarnya soal menang tidak ada waktu itu. Keadaan serdadu di Aceh sangat menyedihkan karena menderita kekalahan hebat dan akibatnya kemusnahan kekuatan yang besar)

Peucut Kerkhof / makam Kerkhof, kuburan militer Belanda di Aceh



makam Kerkhoff  atau sering disebut Peucut Kerkhof adalah kuburan militer Belanda yang tidak terletak di Belanda, melainkan di Banda Aceh, Aceh . Kuburan tentara ini adalah salah satu yang yang terluas di dunia. Sekitar 2.200 tentara termasuk empat orang jenderal dimakamkan di sini, di tanah tempat para pejuang Aceh yang sangat gigih melawan kolonialisme Belanda.

Peucut Kerkhof merupakan gambaran nyata bagi masyarakat Aceh. Setiap kuburan memiliki kisahnya sendiri. Ini bukti kedahsyatan perang Aceh melawan Belanda tidak membuat situs sejarah ini terbengkalai. Karena masyarakat Aceh tidak membawa dendam sampai mati.
Sebelum kita memasuki halaman kuburan Peucut Kerkhof, terdapat kalimat bertuliskan “2200 Prajurit dikuburkan di sini. Angkatan Perang Kerajaan Hindia Belanda Timur (KNIL) membayar mahal atas kehadirannya di Aceh.”


Nama kerkhof berasal dari bahasa Belanda yang berarti halaman gereja atau kuburan. Sedangkan Peucut berasal dari nama salah seorang putera Sultan Iskandar Muda yang dihukum mati dan dikuburkan di salah satu bukit kecil di dalam komplek makam. Sehingga penggabungan nama Peucut Kerkhof dikenal sebagai situs sejarah peninggalan Belanda di areal seluas 3,25 hektar.

Sementara itu perawatan Peucut Kerkhof dibiayai oleh Stichting Peucut Fonds atau Yayasan Dana Peucut. Yayasan tersebut pada dasarnya bermaksud untuk menyelamatkan kuburan militer Belanda agar dapat disaksikan oleh generasi mendatang. Dewan pengurus yayasan khususnya mengumpulkan dana untuk perbaikan dan pemeliharaan semua aktivitas ini sesuai dengan MOU antara Pemrintah Aceh dengen Belanda. Yayasan Dana Peucut sendiri berdiri sejak 29 Januari 1976, ketua yayasan pertama bernama Letnan Jendral F. van der Veen seorang perwira di Korp Marchaussee yang pernah bertugas di Aceh, karena memang korps itu didirikan di Aceh.



“Sebenarnya ada empat jendral Belanda yang meninggal di Aceh, Köhler, Van Swieten, Pel dan satu lagi saya lupa. Seperti Köhler misalnya, dia meninggal 14 April 1873, gugur di depan Mesjid Raya, kemudian oleh pasukannya dilarikan ke laut dan dibawa. Sehingga ekspedisi Belanda pertama itu gagal. Balik ke Jakarta dan dimakamkan di Tanah Abang, di Jakarta. Dikembalikan ke Aceh sebenarnya tidak ada rencana awalnya. Cuma atas inisiatif Gubernur Aceh waktu itu Muzakir Walad, karena Köhler ini meninggalnya di Aceh, apalagi karena kena penggusuran di Jakarta, karena perluasan kantor Balai Kota, makanya tulang belulangnya dimakamkan di Aceh.”
_Adli Abdullah pemerhati sosial budaya Aceh.

“Bagi masyarakat Aceh musuh itu tidak dibawa sampai mati. Musuh itu ada ketika masih hidup, kalau sudah meninggal itu dianggap sudah menjadi Bani Adam. Makanya pihak-pihak Belanda pada waktu itu, tahun 1984, setuju, waktu Pak Muzakir minta supaya abu jenazah Köhler dibawa pulang ke Aceh. Itu tindakan yang spektakuler.
Bahkan setelah itu, kuburan Duta Besar Aceh yang ada di Belandapun direnovasi. Sehingga Gubernur Aceh Muzakir Walad datang ke Belanda di Middelburg.Dubes itu, Tengku Syeh Abdul Hamid yang pernah dikirim oleh Sultan Syaidil Kamil pada tahun 1601 sebagai Duta Besar Aceh di Negeri Belanda dan meninggal di Belanda. Jadi Köhler dibawa pulang ke Aceh dan kuburan Tengku Syeh Abdul Hamid pun direnovasi. Jadi bagian bukti-bukti sejarah. Makanya sejarah itu penting, itu bagian indentitas suatu bangsa.”
_Adli Abdullah pemerhati sosial budaya Aceh.

Perang Aceh berlangsung pada 1873-1904, sebuah perang dimana dalam sejarah Belanda, inilah perang yang paling pahit melebihi pahitnya pengalaman mereka dalam Perang Napoleon.
Kuburan Kerkhoff merupakan pemakaman terbesar kedua tentara Belanda setelah yang pertama terbesar di Belanda. Kuburan Kerkhoff menjadi objek wisata menarik, khususnya bagi wisatawan mancanegara asal Belanda. Hingga saat ini Pemerintah Kerajaan Belanda sangat haru dan menghormati warga Banda Aceh yang merawat dengan rapi kuburan tersebut.

Belanda menyerang Kesultanan Aceh pada 8 April 1873 melalui laut sambil menembakkan meriam dari kapal perang Citadel Van Antwerpen. Saat itu tentara Belanda jumlahnya mencapai 3.198 orang, termasuk tentara dari etnis Jawa, Ambon, Batak, dan tentara etnis Indonesia lainnya yang tergabung dalam Angkatan Bersenjata Hindia-Belanda.

Pada masa pendudukan Hindia Belanda, Masjid Agung Baiturrahman dikuasai tentara Belanda. Namun, pada periode pertama perang tersebut (1873-1874), masyarakat Aceh berhasil menahan serangan Belanda. Johan Harmen Rodolf Kohler yang merupakan jenderal Belanda yang memimpin Perang Aceh kemudian terbunuh dan dimakamkan di Kerkhoff, Banda Aceh.

Bagian paling meletihkan selama perang tersebut adalah perjuangan merebut kembali Masjid Agung Baiturrahman. Perang terus berkecamuk hingga empat periode dari 1873 sampai 1910. Dengan metode perang gerilya akhirnya pejuang Aceh membuat Belanda menyerah dan meninggalkan Tanah Rencong. Cut Nyak Dhien yang memimpin penyerangan tersebut terus berjuang melawan kolonialisme hingga akhirnya ditangkap, diasingkan dan wafat di Sumedang, Jawa Barat.


Banyak hal menarik dapat Anda temui di kompleks pemakaman ini. Seperti kisah para prajurit semasa hidupnya sampai pada saat dikubur. Semuanya diceritakan sekilas pada batu nisan sehingga makam ini seolah-olah sedang bercerita kepada Anda tentang masa hidupnya.

Ada yang unik di tengah-tengah kuburan tentara Belanda itu, terdapat sebuah kuburan yang terpisah dari yang lainnya, yaitu kuburan Meurah Pupok, satu-satunya putera dan kesayangan Sultan Iskandar Muda. Meurah Pupok dihukum rajam oleh ayahnya sendiri Sultan Iskandar Muda karena berbuat zina. Meurah Pupok berbuat zina dengan isteri seorang perwira muda yang menjadi pelatih dari angkatan perang Aceh. Pada waktu perwira muda itu pulang dari tempat latihan di Blang Peurade, didapatinya Meorah Pupok sedang berduaan dengan isterinya. Meurah Pupok segera melarikan diri, karena marahnya si perwira itu menghunuskan pedang pada isterinya. Kemudian perwira tersebut melapor kepada Sultan Iskandar Muda untuk dilakukan penyelidikan. Akhirnya Meurah Pupok tertangkap dan dihukum rajam sampai mati oleh Sultan Iskandar Muda selaku ayahnya di depan umum.

Makam Kerkhoff tidak saja bukti nyata kepahlawanan rakyat Aceh melawan penjajah tetapi juga merupakan bukti nyata keadilan Sultan Iskandar Muda dalam menjunjung tinggi hukum dimasa pemerintahannya.
source: indonesia.travel and terselubung.blogspot.com

Perang Aceh - Belanda

Kegagalan Belanda dalam agresinya ke Aceh menjadi topik bahasan parlemen di Denhag. GB Hooyer dalam tulisannya pada tahun 1879 malah mengakui kehebatan perang Aceh itu sebagai tempat belajar bagi tentara Belanda.

Setelah kediaman sultan dikuasai Belanda pada egresi keduanya, maka pada 31 Januari 1874, Letnan Jenderal Van Swieten mengeluarkan proklamasi bahwa Pemerintah Hindia Belanda telah menggantikan kedudukan sultan Aceh dan menempatkan daerah Aceh Besar sebagai daerah taklukannya.

Belanda juga berusaha agar daerah-daerah diluar Aceh besar mengakui kedaulatan Pemerintah Belanda, jika tidak dengan jalan damai maka ditempuh jalan kekerasan melalui perang. Dan inilah awal dari perang gerilya Aceh melawan Belanda, karena tidak mau takluk pada permintaan Belanda.

Pemerintah Kolonial Belanda menyangka dengan menguasi Dalam dan sebagian kecil darah Aceh Besar serta dengan sebuah proklamasi dapat membuat daerah Aceh lainnya takluk, kenyataanya perlawanan rakyat Aceh melalui perang gerilya semakin gencar.

Meskipun Van Swieten telah memproklamasikan bahwa Pemerintah Hindia Belanda menggantikan kedudukan Sultan, pihak Aceh tetap mengangkat pengganti Sultan Alaiddin Mahmud Syah yang telah mangkat dengan Tuanku Muhammad Daud bergelar Sultan Alaiddin Muhammad Daudsyah, putra Tuanku Zainal Abidin bin Sultan Alaiddin Ibrahim Mansyur Syah.

Perlawanan rakyat Aceh terus berlanjut hingga menjelang awal kedatangan Jepang (1942). Perlawanan tersebut dipimpin oleh ulama dan uleebalang serta disemangati oleh pengaruh syair-syair yang heroik dari penyair yang membangkitkan semangat dan antipati terhadap Belanda yang disebut sebagai kafir yang harus dilawan.

Syair-syair tersebut, di antaranya Hikayat Prang Sabi yang ditulis oleh Teungku Chik Pante Kulu, Hikayat Prang Kompeni karangan Abdul Karim yang dikenal dengan panggilan Do Karim, dan berbagai hikayat heroik lainnya. Antipati juga disebabkan oleh pihak Belanda yang tidak memperbolehkan rakyat Aceh untuk mengibarkan Bendera Alam Peudeueng dan harus mengibarkan Bendera Belanda.

Perlawanan rakyat Aceh dalam Perang Aceh sepanjang sejarah yang disebutkan di atas, melahirkan banyak catatan-catatan. Jenderal GP. Booms dalam bukunya De Erste Atjeh Expediti en Hare Enquete (Zentgraaf, 1938) menulis: “Blijkbaar rekende men dus op een gemakkelijke overwinning. De feiten, een jarenlange ervaring, hebben echtar getoond, dat men te maken had men telrijken, energieken vijand,... met een volk van een ongekende doodsveracting,dat zich onverwinbaar achtte... die ervaring leert in een woord, dat wij niet gestaan hebben tegenover een machteloozen sultan wiens rijk met den valvan zijn Kraton zou ineenstorten maar tegenover een volksoorlong, die behalve over al de materieele middelen vaqn het land, over geweldige moreele krachten van fanatisme of patriotisme beschikte..”

(“telah diperkirakan suatu kemenangan yang akan diperoleh dengan mudah. Akan tetapi, pengalaman bertahun-tahun lamanya memberikan petunjuk, bahwa yang dihadapi itu adalah musuh dalam jumlah besar yang sangat gesit, ... suatu bangsa yang tidak gentar menghadapi maut, yang menganggap ia tidak dapat dikalahkan... Pengalaman itu memberi pelajaran, bahwa kita tidak dapat menghadapi seorang Sultan, yang kesultanannya akan berubah dengan jatuhnya Kraton, akan tetapi kita menghadapi rakyat yang menentukan harta-benda negara, memilki tenaga-tenaga moril, seperti cinta tanah air”).

Dalam sidang Parlemen Belanda pada 15 Mei 1877, Menteri Urusan Koloni Belanda memberikan jawaban atas interpelasi yang menyoalkan kegagalan Belanda itu, “Wij hebben te trotseeren gehad een ongekande doodsveracthing, een volk dat zich onverwinbaar achtte” (“Kita telah menghadapi maut, bangsa yang menganggap ia tidak sedikit pun gentar menghadapi maut, bangsa yang menganggap ia tidak mugkin dapat dikalahkan”).

Kegagalan Belanda itu terus saja dibicarakan, sampai Belanda pun menaruh hormat atas keberanian pejuang Aceh (baik pria maupun wanita). Rasa hormat itu sebagaimana diungkapkan Zentgraaff dalam bukunya Atjeh, yang menulis: “De Atjehschevrouw, fier en depper, was de verpersoonlijking van den bittersten haat jegens ons, en van de uiterste onverzoenlijkheid an als zij medestreed, dan deed zij dit met een energie en doodsverachting welke veelal die der mennen overtroffen. Zij was de draagster van een haat die brandde tot den rand van het graf en nog in het aangezicht van den dood spuwde zij hem, den kaphe in het gezicht”

(“Wanita Aceh gagah dan berani mereka pendukung yang tidak mungkin didamaikan, terhadap kita dan bila ia turut serta bertempur, dilakukannya dengan gigih dan mengagumkan, bersikap tidak takut mati yang melebihi kaum pria. Ia mempunyai rasa benci yang menyala-nyala sampai liang kubur dan sampai saat menghadapi maut, ia masih mampu mendahului muka si kaphe”).

Perang antara pihak Belanda dan pihak Aceh yang dikenal dengan Perang Aceh melahirkan pengakuan pihak Belanda. G.B. Hooyer (1897) menulis: “Geen benden van Diepo Negoro of Sentot, geen dweepzieke Padri’s, geen scharen Balineezen of ruitmassa’s der Bonieren ontwikkelden ooit zooveel dapperheid en doodsverachting in het gevecht, zooveel stoutheid bij den aanval, zooveel vertrouwen op eigen kracht, zooveel taaiheid in tegenspoed, als die door den vrijheidlievenden, fanatieken, voor den guerilla-krijg als geschapen Atjeher werden betoond. Daarom zal de Atjeh-oorlog steeds een leerschool blijven voor ons leger, ...”

(“Tidak ada pasukan Diponogoro atau Sentot (Ali Basyah Prawiro Dirjo), tidak ada pasukan Padri yang sedemikian fanatiknya, tidak ada pasukan Bali atau pasukan berkuda orang Bone yang telah memperlihatkan keberanian dan tidak gentar menghadapi maut di dalam pertempuran-pertempuran, disertai dengan kenakalan-kenakalan pada penyerangan, demikian penuh kepercayaan pada kekuatan sendiri, begitu gigih di dalam menghadang lawan, seperti yang diperlihatkan oleh orang Aceh yang cinta kemerdekaan, fanatik dan laksana dilahirkan untuk bergerilya. Karenanya, perang Aceh akan selalu merupakan sekolah tempat belajar untuk tentara kita, ...”).

Zentgraaf, menutup dengan kalimat: “Cemme ils tombent bien.... en is er een volk op deze aarde dat de ondergang dezer heroike figuren niet met diepe vereering zou schrijven in het ziyner historie?” (... dan adakah suatu bangsa di bumi ini yang tidak akan menulis tentang gugurnya para tokoh heroik ini dengan rasa penghargaan yang sedemikian tingginya di dalam buku sejarahnya?”)

source : iskandarnorman.multiply.com